Ketinggian 8 Meter, Keluarkan Api




SM/Nur Kholiq SEMBURAN LUMPUR: Semburan lumpur setinggi delapan meter yang muncul dari pengeboran sumur menjadi tontonan warga Desa Lubang Kidul, Kecamatan Butuh, Purworejo, Kamis (5/9) sore. (58)
PURWOREJO - Semburan air bercampur lumpur hitam muncul di pekarangan rumah warga di Desa Lubang Kidul, Kecamatan Butuh, Purworejo, Kamis (5/9) sore.
Semburan lumpur yang menghebohkan warga itu muncul dari proses pengeboran sumur di pekarangan milik Ponco Sumarno (52), warga Dusun Jogomudo RT 2 RW 1, Desa Lubang Kidul, sekitar tiga kilometer arah selatan jalan raya Purworejo-Kebumen. Dalam waktu cepat, kabar kejadian yang mirip semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo itu menyebar.
Ribuan warga berbondong-bondong datang untuk menonton. Aparat Polsek Butuh mengamankan lokasi dengan memasang garis polisi. Menjelang malam, semburan lumpur mulai berhenti. Namun, warga justru semakin cemas karena lubang itu mengeluarkan semburan api. Api yang muncul berwarna kuning kebiruan.
Sesekali terdengar suara seperti gas keluar melalui lubang yang tersumbat. Api tidak stabil, terkadang mengecil, tapi sesaat kemudian membesar dengan ketinggian maksimal kira-kira 2 meter. Kepala Desa Lubang Kidul Fahmi Aji mengungkapkan, semburan api itu mulai muncul sekitar pukul 18.30. Hingga semalam belum ada tindakan mengungsikan warga. Namun demikian, pemerintah desa bersiaga untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan.
”Kami masih menunggu instruksi Pemkab Purworejo dan analisis oleh pihak berwenang,” ujarnya. Pemilik lahan, Ponco Sumarno menjelaskan, semburan lumpur itu bermula ketika ia hendak membuat sumur bor untuk mengairi kolam ikan gurami miliknya. ”Sumur dibuat saudara saya yang juga tukang sumur bor. Sumur belum jadi, malah keluar lumpur yang menyembur,” katanya. Tukang pembuat sumur, Eko Siswanto (37), warga Desa Boto Daleman, Kecamatan Bayan, Purworejo menjelaskan, dia mengebor bersama tiga rekannya. Awalnya muncul semburan air kuat yang dikira mata air biasa.
Saat pengeboran mencapai kedalaman delapan meter, ada tekanan kuat dari dalam tanah. Akhirnya pengeboran dihentikan, karena mereka menganggap sudah menemukan mata air yang besar. Sebelum mengakhiri pekerjaan, Eko berniat menambah kedalaman sumur satu pipa lagi agar cadangan air lebih banyak. Setelah ditambah satu pipa hingga mencapai kedalaman 15 meter, tekanan justru semakin kuat. ”Pada kedalaman itu muncul semburan lumpur bercampur air dengan tekanan tinggi.
Semburan mencapai ketinggian mencapai delapan meter. Kami belum sempat memasang pipa karena keburu panik dan segera menjauh,” bebernya. Kejadian itu segera dilaporkan ke pemerintah desa dan kepolisian. Warga cemas semburan lumpur akan membesar seperti di Sidoarjo. Kades Fahmi Aji telah mendata jumlah warga yang tidak jauh dari sumur itu. Menurut data, jumlah warga di RT2 RW1 yang cukup dekat dengan lokasi semburan 40 KK atau 100 jiwa.
Camat Butuh Wahyu mengatakan, sampai dua jam semburan lumpur masih kuat. Bahkan tercium bau gas. Ada warga yang mencoba air yang keluar bersama lumpur itu. Rasanya cenderung asin seperti air laut. Wahyu mengatakan, pihaknya sudah melapor kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Purworejo dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jateng.
Tidak Berbahaya
Peneliti pada Balai Informasi dan Konservasi Kebumian (BIKK) LIPI Kebumen Ir Chusni Ansori MT menyatakan, secara geologi Kebumen selatan sampai Purworejo termasuk daerah rendahan atau graben.
Di dalam tanah tersebut terdapat endapan batu-batuan yang termasuk dalam deretan kipas aluvial Kutoarjo. Menurut Chusni, endapan tersebut berasal dari pantai purba yang secara morfologi merata dan makin meningkat hingga mendekati pantai selatan. Struktur serupa ditemukan di sekitar Bagelen, Purworejo hingga Kulonprogo, DIY.
”Bekas rawa-rawa itu juga mengandung batu lempung. Bila ada tekanan akibat dibor, seolah ada celah sehingga menyembur keluar,” jelas geolog lulusan Fakultas Teknik Geologi UGM itu. Chusni menambahkan, kasus serupa pernah terjadi di Desa Meles, Kecamatan Adimulyo dan Buluspesantren, Kebumen yang struktur tanahnya hampir sama, yakni mengandung rawa dan lempung.
Biasanya semburan gas rawa itu belum mendekati lapisan gas minyak, sehingga dalam tempo setengah hari atau sekitar lima jam akan mati sendiri. Mengenai kemunculan api, Chusni menjelaskan, itu merupakan sisa gas rawa yang meletup.
Namun, semburan api di Butuh berbeda dari api abadi di Mrapen, Grobogan. Sebab, api di Mrapen sudah mengandung gas minyak. ”Tidak usah khawatir karena api itu dalam satu-dua hari akan padam sendiri,” tandasnya.
Pakar geologi dari UPN Veteran Yogyakarta, Prof Dr Ir C Danisworo MSc mengungkapkan, daerah Kecamatan Butuh pernah dilalui sungai purba yang menyisakan endapan awal batu bara. Sungai itu membawa sisa-sisa kayu dan tanaman purba yang kemudian mengendap di sekitar sungai. Semakin mengarah ke laut membentuk endapan klastik, semakin ke arah darat membentuk endapan lignit.
Endapan lignit inilah yang kemudian membentuk batu bara awal. Posisi Kecamatan Butuh yang diperkirakan 15-17 km dari pantai dapat digolongkan sebagai daerah darat. Kepala Dinas ESDM Jateng Teguh Dwi Paryono meminta masyarakat Purworejo tidak panik. Sebab, lumpur dan gas yang diduga metana dari dalam lubang sumur itu tidak berbahaya dan tidak beracun.
”Itu gas rawa atau metana, jadi tidak berbahaya. Ini tidak sama dengan lumpur Lapindo atau mud volcano,” katanya. Menurut dia, Dinas ESDM justru sudah mengembangkan gas rawa sebagai pengganti elpiji di desa-desa. (H43,B3,H50,J17-59)

Enhanced by Zemanta

0 komentar:

Post a Comment

Tulis komentar anda disini...

 
Top